Sunday, October 19, 2008

Mentalitas Kelimpahruaan, Sebuah Renungan menjelang Isra' Mi'raj

Wahai Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau beri kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tanganMulah segal kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab.
(QS, Ali Imran 3:26-27).

Ayat di atas mengajarkan kepada kita, bahwa kekuasaan, kemuliaan, kehinaan tidak akan berlaku tanpa kehendak Allah. Namun kekuasaan, kemuliaan dan kehinaan meruapakan sebab akibat dari sebuah perbuatan.
Dalam kehidupan kita perlu melihat ke dalam diri kita. Apa yang salah dan apa yang benar dari jalan kehidupan yang sudah kita lalui berpuluh tahun. Adakah keseimbangan yang kita peroleh. Atau kita hanya memperoleh kenikmatan dan kesengsaraan tanpa melihat peran kita di tengah masyarakat.
Banyak yang ditakdirkan menjadi pemimpin. Ketika ia menjadi pemimpin kecil, ia begitu disanjung. ketika ia menjadi pemimpin pada golongan yang lebih besar ia menjadi lupa diri.
Sesungguhnya keberhasilan seseorang menjadi pemimpin adalah berkat doa orang yang dipimpin.

Kembali kita ke masyarakat Minangkabau. Terlihat begitu sulitnya meningkatkan derajad kehidupan anak nagari yang ada di ranah Minang. Banyak sekali terjadi permasalahan masyarakat di nagari-nagari akibat prilaku yang tidak seimbang dari kehidupan pribadi masyarakat.
Peristiwa kriminal, perkelahian antar penduduk nagari yang berdekatan mencerminkan adanya ketidakseimbangan ecosystem kehidupan masyarakat. Padahal seharusnya masyarakat tidak perlu memiliki scarcity mentality (mentalitas kelangkaan) melainkan harus berpadangan abundance mentality (mentalitas kelimpahruaan). Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah memberikan rezeki lebih kepada yang ia kehendaki dan memberikan sedikit rezeki kepada yang ia kehendaki juga. Hanya ummat yang seharusnya memahami bahwa kalau kita berpikir yang ada hanya sedikit sehingga harus berebut untuk memperolehnya, padahal Tuhan sudah memberikan kelimpah ruaan yang harus dijemput. Pikiran yang sempit menimbulkan permasalahan kehidupan yang semakin kompleks.

Siapa yang harus mengajarkan prilaku kelimpahruaan ini. Tentu para pemimpin di sekitar kita. Ada aparat, ada ninik mamak ada bundo kanduang, ada ustadz, ada kepala rumahtangga. sampai sejauh mana kita sudah melaksanakan semuanya ini.

Kalau setiap orang memiliki abundance mentality, maka tidak akan ada korupsi. Orang akan malu untuk korupsi atau maling atau melakukan perbuatan tercela lainnya. Jadi penting bagi kita memahami, bahwa tanggungjawab kepada diri adalah tanggungjawab kita kepada Tuhan.

Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami, tetapkanlah pendirian kami, tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Amiin

Sangka Baik

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa (QS Hujurat - 49: 12).

Sangka baik atau berasumsi positif adalah sifat yang terpuji. Sangka baik tidak harus menghilangkan kewaspadaan. Banyak orang memanfaatkan kelemahan sangka baik orang lain untuk berbuat kejahatan atau penipuan, akibatnya orang yang pernah tertipu menjadi was-was bila didekati oleh orang yang tidak dikenal.



Salah satu contoh dalam budaya kita adalah bila orang lewat didepan kita, dianggap tidak sopan. Tapi bila lewat di belakang punggung seseorang, kita dianggap tahu diri. Sedangkan di negara maju, bila orang sengaja lewat menepi di belakang orang lain, orang yang dilewati akan curiga dan melihat ke belakang. Bila orang lewat di depan kita, malah dianggap aman. Suatu hal yang kontroversal.


Sampai di mana suatu prasangka dianggap relevan dengan kondisi yang ada. Ini akan tergantung kepada situasi di mana kita berada. Bila kita berhadapan dengan seorang tenaga pemasar, prasangka yang muncul adalah dua macam. Senang bila barang yang ditawarkan menarik. Curiga bila melihat barang yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginan atau kebutuhan kita. Tapi itu dalam bisnis, di mana permainan prasangka sangat mempengaruhi kelancaran bisnis.


Sangka baik akan muncul bila kita dihadapkan kepada pengalaman yang bagus bagus saja selama kurun waktu. Sikap curiga akan muncul kalau kita pernah mendapatkan kekecewaan terhadap sesuatu, alias kita tidak ingin kehilangan tongkat dua kali.


Bagaimana dengan sangka baik terhadap pembangunan masyarakat. Banyak masyarakat tidak berprasangka baik bila dihadapkan kepada janji-janji aparat yang tidak ditepati. Demikian juga, kalau sudah menyangkut kepada aspek budaya masyarakat secara luas. Seperti kata pribahasa tunjuak luruih kalingkinang bakaik (jari telunjuk lurus, tapi jari kelingking berkait). Pribahasa ini mengatakan tidak adanya integritas antara ucapan dan aksi. Pribahasa yang selalu diajarkan turun temurun seperti ini menimbulkan suatu prasangka, bahwa jangan mudah percaya kepada ucapan orang, kalau tidak ada bukti. Branagkali itulah yang sulit membuat sesama “orang padang” untuk saling percaya, kecuali orang-orang yang sudah mengecap pendidikan tinggi dan banyak bergaul dengan orang-orang non minang. Istilah “Padang bengkok” sering menjadi ungkapan orang non minang terhadap orang minang. Muncul anekdot : Jan tinggakan sumbayang, kacuali lupo. Jan mancilok kecuali tapaso. Jan bazina, kacuali suko samo suko. (jangan tinggalkan shalat kecuali lupa. Jangan mencuri, kecuali terpaksa. Jangan berzina kecuali suka sama suka). Ini anekdot yang menjadi lelucon bagi orang non minang. Dan ini mencerminkan suatu prasangka jelek yang dibuat lelucon.


Bagaimana membangun sangka baik. Adalah dengan mendengarkan (listening) tanpa melupakan penilaian (judgement). Ini tentu memerlukan pengalaman pribadi dalam beberapa waktu. Percaya bahwa dalam hidup ada keseimbangan yang diberikan oleh Sang Khalik. Bila kita pernah menipu, suatu saat pasti kita akan kena tipu. Bila kita pernah mencuri, usatu saat kita akan kecurian. Atau mungkin kita tidak pernah menipu tapi selalu kena tipu, apakah ini dianggap seimbang? Jawabanya “Ya”. Keseimbangan yang kita dapatkan sekarang mungkin dari ketidakseimbangan masa lalu. Artinya bila anda tidak pernah menipu dan selalu kena tipu, bisa jadi dulu moyang kita sering menipu. Kalau begitu ada dosa turunan dong? Wallahu’alam.

Kalau orang Yahudi pada Al-Qur’an dikatakan sebagai bangsa yang licik dan turun temurun tetap licik, prasangka baik apa yang bisa kita berikan terhadap mereka? Yang ada selalu prasangka jelek (su’uzhon)


Jadi sikap prasangka baik perlu dimulai dari diri kita tanpa melupakan kewaspadaan. Bagaimana caranya waspada? Tentu dengan pertolongan Allah. Semakin banyak kita berdoa untuk tetap dilindungi Allah akan semakin bebas diri kita menetapkan prasangka baik kepada orang lain (husnu zhon). Tentunya kita tetap menjaga keseimbangan diri kita sendiri untuk tidak melakukan perbuatan tercela dan menjaga integritas diri.


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6).


Bila keseimbangan ini terganggu, maka hukum sebab akibat akan terjadi pada kita. Mari kita minta ampun sebanyak mungkin kepada Allah rabbil ‘alamiin.